Critical Review
Critical Review Evan A. Laksamana
Sebagai pembuka dari tulisan Evan A. Laksamana yang berjudul Regional Order by Other Means?
Examining the Rise of Defense Diplomacy in Southeast Asia. Tulisan ini berusaha untuk memaparkan
mengenai alasan meningkatnya diplomasi pertahanan di Kawasan Asia Tenggara
dalam dekade tarakhir. Adanya bentuk diplomasi pertahanan yang dilakukan oleh
Indonesia secara multilateral dibawah naungan ASEAN dan ASEAN Reagional Forum
(ARF) serta bentuk diplomasi pertahanan bilateral memunculkan argument dalam
tulisan ini. Pertama yaitu, diplomasi pertahanan bilateral dan multilateral di
Asia Tenggara saling melengkapi satu sama lain. Selain itu, fokus diplomasi
pertahanan multilateral telah berkembang dan sekarang telah mencerminkan
perbedaan yang ambigu antara isu keamanan tradisional dan non-tradisional.
Tulisan ini juga akan memberikan gambaran mengenai tantangan yang dihadapi oleh
Indonesia dalam melaksanakan kerjasama diplomasi pertahanan. Penulis selaku
penstudi Hubungan Internasional juga memberiakn rekomendasi, saran masukan dan
juga kesimpulan dari tulisan ini.
Mengawali pembahasan ini,
penulis akan memaparkan mengenai adanya perkembangan hubungan pertahan China, Amerika,
India, Rusia dan Jepang dengan negara-negara Asia Tenggara menjadi pertanda
meningkatnya diplomasi pertahanan di Kawasan Asia Tenggara. Hal tersebut
ditandai oleh hubungan bilateral seperti pertukaran angkatan bersenjata dan
koordinasi patroli gabungan. Secara multilateral pun juga terlihat meningkatnya
hubungan diplomasi pertahnan dengan bukti bahwa terbentukanya ASEAN Regional
Forum yakni berupa pertemuan yang melibatkan pejabat pertahanan masing-masing
negara untuk membahas berbagai masalah keamanan dan pertahanan negaranya.
Selain itu, ASEAN Devense Ministry Meeting (ADMM) juga menjadi bukti bahwa
adanya peningkatan dalam hal diplomasi pertahanan. ADMM ini diselenggarakan
oleh 10 negara ASEAN bersama Australia, China, India, Jepang, Korea Selatan,
Selandia Baru, Rusia dan Amerika. Meskipun bentuk kerjasama dan berbagai forum
telah dilaksanakan intraregional hal tersebut lebih menunjukan banyaknya
aktivitas ekonomi politik dibandingkan bentuk pertahanan. Hal tersebut
disebabkan karena ASEAN bukanlah aliansi militer atau organisasi keamanan dan
pertahanan regional sehingga kurangnya fokus pada pertahanan dan keamanan. Namun
argumen tersebut sebenarnya telah dibantah oleh fakta bahwa Kawasan Asia
Tenggara lebih damai dibandingkan saat perang dingin karena persaingan ideologi
dan ketegangan regional.
Dalam
tulisan ini terdapat tiga argumen yang saling terkait yakni yang pertama ialah berbagai
diplomasi pertahanan baik bilateral maupun multilateral di Asia Tenggara yang
saling melengkapi layaknya dua sisi mata uang yang sama-sama melayani meski
untuk tujuan yang berbeda. Diplomasi pertahanan bilateral untuk mencapai tujuan
fungsional yang spesifik dan multilateral berfokus pada penyeimbangan
kelembagaan terhadap kekuatan ekstra regional. Kedua, fokus diplomasi
pertahanan multilateral di Asia Tenggara telah berevolusi yang awalnya hanya
terkait masalah keamanan transnasional tetapi kini juga lebih mengedepankan isu
keamanan tradisional seperti bantuan kemanusiaan, bantuan bencana, pemeliharaan
perdamaian dan keamanan maritime. Terakhir ialah meningkatnya jumlah aktivitas
diplomatik pertahana multilateral dibawah naungan ASEAN Regional Forum.
Secara
umum, diplomasi pertahanan bukanlah fenomena baru. Sejak zaman perang,
penggunaan atau ancaman penggunaan kekuatan militer untuk mencapai tujuan
kebijakan luar negeri menjadi ciri utama dalam sistem internasional. Untuk saat
ini, diplomasi pertahanan tidak hanya melibatkan pejabat negara namun juga
melibatkan sumber informasi formal dan informal. Pandangan terhadap diplomasi
pertahanan lebih luas dibandingkan dengan diplomasi militer secara tradisional
yang hanya berfokus pada penggunaan militer untuk mengatur keamanan. Meski
demikian, adanya konsep diplomasi pertahanan diperuntukan dalam mengurangi
terjadinya konflik. Bila kita tilik kembali, diplomasi pertahanan tidak pernah
menjadi wacana yang signifikan di Asia Tenggara. Sebagian besar pemimpin ASEAN
justru mempraktekkan urusan bisnis yang berbasis politik, layaknya Presiden
Indonesia Soeharto, Perdana Menteri Singapura Lee Kuan Yew dan Perdana Menteri
Malaysia Muhathir Muhammad. Lebih jauh lagi, ASEAN sebenarnya memiliki batasan
dalam mengurusi pertahanan dan keamanan tiap-tiap negara anggota. Hadirnya
Amerika dan China juga memiliki pengaruh yang lebih besar terhadap negara
anggota ASEAN sehingga cenderung reaktif daripada proaktif.
ASEAN
yang didirikan melalui sebuah kerjasama politik, keamanan dan ekonomi tidak
pernah secara eksplisit dipahami sebagai kerjasama pertahanan multilateral
layaknya NATO. Kerjasama multilateral ASEAN dalam masalah keamanan
transnasional dan nontradisional telah membantu menyediakan ruang strategis
untuk diplomasi pertahanan multilateral dalam beberapa tahun terakhir. Tercatat
sebanyak 177 peristiwa diplomatik pertahanan multilateral tercatat di Asia
Tenggara sejak tahun 1994 sampai 2009. Sayangnya, marak kegiatan pertahanan
secara defensif multilateral bertepatan dengan pasca krisis keuangan Asia 1996.
Meski demikian fokus dari kerjasama multilateral diplomasi pertahanan ASEAN
dapat dilihat dari indikator kebijakan yang di implementasikan melalui dokumen
publik ASEAN yang bersifat resmi. Hal tersebut dibuktikan oleh sebuah studi
dari Universitas Indonesia yang menunjukan dari 1967-2009, ASEAN dan isntitusi
terkait telah berhasil menghasilkan 270 dokumen yang berbentuk deklarasi,
laporan ketua rapat, rencana tindakan, laporan tahunan dan lain sebagainya.
Studi yang sama juga menjelaskan bahwa sebagian besar dokumen yang dihasilkan
ditargetkan untuk menangani masalah keamanan non-tradisional (pembangunan
ekonomi. Resolusi konflik dan keamanan manusia), tradisional (isu Laut China Selatan,
zona bebas nuklir Asia Tenggara dan penguatan perjanjian dan kerjasama) dan
pengembangan kelembagaan. Terlampir grafik dokumen yang dihasilkan oleh ASEAN.
Terlepas dari diskusi dibagian
sebelumnya yang membahas pentingnya diplomasi pertahanan multilateral di Asia
Tenggara, para pembuat kebijakan seringkali melupakan kerjasama bilateral yang
mereka anggap lebih spesifik. Seorang scholar
menyebut preferensi tersebut sebagai bentuk “pertahanan jaring laba-laba
bilateralisme” ASEAN, yang terdiri atas pembagian intelejen, latihan bersama,
kegiatan pelatihan gabungan, dan lain sebagainya. Alasan keterbatasan, maka tulisan
ini akan lebih berfokus pada diplomasi pertahanan secara bilateral Indonesia
sebagai negara terbesar di Asia Tenggara yang akan menggambarkan relevansi dan
signifikansi. Bagi Indonesia, diplomasi pertahanan dapat dikategorikan
berdasarkan beberapa fungsi yakni diplomasi pertahanan untuk CBM yang meliputi
kunjungan kenegaraan, dialog dan konsultasi, bertukan informasi, latihan
gabungan dan pertukaran petugas, diplomasi pertahanan sebagai uapaya
meningkatkan kemampuan pertahanan dan diplomasi pertahanan sebagai pengembangan
industri pertahanan dalam negeri. Dalam konteks Indonesia istilah diplomasi
pertahanan menyiratkan bahwa instasi yang terlibat merupakan angkatan
bersenjata dalam hal ini TNI dan juga Kementrian Pertahanan. Benar bahwa masa
Orde Baru Indonesia TNI mendominasi dalam pembuatan kebijakan luar negeri
termasuk pembuatan kebijakan ke China tahun 1970an. Namun berbeda dengan
periode saat ini, dimana angkatan bersenjata Indonesia kurang memiliki peranan
dalam pembuatan kebijakan luar negeri dan sebagai gantinya mereka hanya
dijadikan “diplomat ad-hoc” dalam
diplomasi pertahanan bilateral dan multilateral.
Amerika, China dan Australia menjadi
kekuatan utama yang menjadi pusat perhatian Indonesia. Hal tersebut lantaran
Indonesia pernah membekukan hubungan diplomatik dengan China pada tahun 1967
sampai 1990 sehingga Indonesia bersikap ambivalen. Perhatian juga ditujukan
kepada Amerika lantaran embargo militer Amerika tahun 1990an mengenai
pelanggaran HAM menjadi instropeksi
tersendiri bagi pemangku kebijakan Indonesia. Hal tersebut memicu hubungan
bilateral menjadi semakin sengit. Sedangkan Australia dipandang sebagai negara
pengintervensi Timor Timur untuk segera memisahkan diri dari Indonesia. Terlepas
dari itu, Rusia, Prancis, Korea Selatan dan Belanda dianggap sebagai negara
yang penting bagi militer Indonesia. Disisi lain, Malaysia dan Singapura
menjadi tetangga bagi Indonesia yang berpotensi sebagai saingan terbesar bagi
Indonesia, mengingat kedua negara memiliki catatan historis yang hampir sama
dengan Indonesia. Meskipun Indonesia, Malaysia dan singapura dalam beberapa
tahun terakhir memiliki hubungan yang kurang baik lantaran beberapa isu, tetap
saja bahwa Indonesia telah menandatangani dan melakukan hubungan bilateral
kepada semua negara anggota ASEAN termasuk Malaysia dan Singapura. Singkatnya, diplomasi
pertahanan bilateral indonesia dapat dilihat sebgagai mekanisme kebijakan luar
negeri yaitu, berfokus pada meningkatnya tatanan regional melalui CBM dan
menargetkan beberapa negara tetangga regional yang penting sebagai pemasok
senjata. Lebih khusus lagi, Indonesia menganggap bahwa diplomasi pertahanan
sebagai sarana untuk menjaga integritas wilayah negara, meningkatkan tatanan
regional dan memperbaiki pembangunan pertahanan dalam negeri.
Meninjau
tulisan yang telah dipaparkan oleh Evan A. Laksamana penulis agaknya cenderung
setuju dengan pemaparan tulisan tersebut. Pasalnya, Evan A. Laksamana
menunjukan bahwa kerjasama pertahanan dikawasan Asia Tenggara terus meningkat.
Penulis juga senada dengan pendapat tersebut. Hal tersebut dibuktikan oleh
negara-negara dikawasan yang terus berupaya memperkuat kerjasama diplomasi
pertahanan baik secara bilateral maupun multilateral. Bahkan negara-negara non
Asia Tenggara pun ikut menjalin kemitraan dengan Asia Tenggara dalam hal
diplomasi perthanan. Penulis meyakini bahwa melalui diplomasi pertahanan yang
dijalnakan dapat mendukung upaya untuk menjaga perdamaian dan stabilitas
kawasan. Sebenarnya menurut penulis untuk meningkatkan keamanan dan stabilitas
kawasan bisa diawali dengan kerjasama berupa diplomasi pertahanan antar negara.
Hal tersebut menjadi titik awal bagi pentingnya diplomasi pertahanan dimasa
depan guna meningkatkan stabilitas dan keamanan dalam kawasan regional maupun
internasional. Hal tersebut tentunya sudah perlahan dibuktikan oleh ASEAN
dengan mengadakan ASEAN Regional Forum.
Dalam
hal ini, Evan mengambil contoh negara ASEAN yang sudah cukup kuat dalam melakukan
diplomasi pertahana yaitu Indonesia. Meski dijadikan contoh oleh Evan, tetapi
penulis selaku penstudi Hubungan Internasional kurang sependapat bahwa
Indonesia sudah menjadi negara yang komplit dalam melaksanakan startegi
diplomasi pertahanan. Pasalnya, diplomasi pertahanan Indonesia masih mengalami
beberapa kendala seperti masih rendahnya kualitas sumber daya manusia pertahanan,
terbatas dan kurangnya peralatan alutsista pertahanan dan yang masih menjadi
sorotan hingga kini adalah tidak adanya evaluasi kerjasama pertahanan dari
Kementrian Pertahanan. Padahal hal tersebut sangatlah perlu, mengingat bentuk
kerjasama yang telah dilakukan sudah cukup banyak. Sebenarnya bila kita tilik
kembali bahwa Indonesia sudah mulai aktif untuk mengajak negara-negara
dikawasan Asia Tenggara melakukan kerjasama pertahanan dan keamanan sudah
dimulai pada tahun 1970an. Kerjasama yang diusung oleh Indonesia terkesan
condong kearah bilateral layaknya operasi dan latihan bersama, intelejen,
logistik dan personel. Penulis tidak memungkiri bahwa upaya yang dilakukan oleh
Indonesia sudah sangatlah gencar dan startegis. Hal tersebut dibuktikan dengan
Indonesia yang berusaha dengan keras menjalin berbagai kemitraan dengan negara
luar negeri. Hal tersebut dimaksudkan untuk menjaga dan memperkuat Pertahanan
Indonesia dan juga CBM.
Bila
kita kaji secara mendalam, sebenarnya kerjasama pertahanan merupakan bentuk
implementasi dari sebuah diplomasi pertahanan. Pun dengan Indonesia yang sangat
gencar melakukan kerjasama tersebut. Gencarnya keinginan Indonesia dalam
menjalin kerjasama tentunya menimbulkan sejumlah permasalah yang dihadapi seperti
dalam hal bentuk operasi, latihan gabungan, pengadaan alutsista maupun industri
pertahanan. Selain itu, adanya daya saing yang tinggi dan tingkat kesejahteraan masyarakat yang belum cukup baik
menjadikan negara tetangga relatif memandang rendah
pada posisi Indonesia (Cassidy, F) Sikap politik yang belum cukup jelas juga membuat tantangan bagi Indonesia dalam melaksanakan diplomasi
pertahanan.(Makarim, 2010) hal etrsebut
dibuktikan dengan beberapa agenda regional seperti counter terrorisme, maritime security, intelligence, humanitarian
assistance & disaster relief, dan peace keeping yang belum memiliki kejelasan untuk diimplementasikan. Dalam
konteks regional, Indonesia juga dinilai belum memiliki konsep yang cukup jelas pada isu-isu
tersebut. Kesadaran jati diri bangsa yang
rendah juga menambah permasalahan
bagi Negara Indonesia. Dalam persaingan
budaya global yang berpengaruh pada kewaspadaan nasional, terdapat
kecenderungan adanya inferiority complex yang
disebabkan oleh jati diri bangsa yang belum kokoh. Hal ini menyebabkan dalam
percaturan diplomasi dengan negara lain terutama negara yang dominan di dunia,
perwakilan kita tidak cukup berani.
Meski banyaknya tantangan yang dihadapi oleh Indonesia,
penulis memiliki beberapa rekomendasi saran untuk digunakan Indonesia nalam
menepis semua tantangan yang ada. Pertama mencoba untuk meningkatkan bargaining power dalam upaya diplomasi
regional di Kawasan Asia Tenggara. Untuk tercapainya rekomendasi yang
ditawarkan penulis, pemerintah dapat melibatkan lebih banyak kompenen bangsa
dalam melaksanakan forum internasional. Kedua yaitu, lebih menjelaskan sikap
politik yang akan diambil terkait isu-isu regional Kawasan Asia Tenggara. Dalam
hal ini pemerintah bersama dengan instansi terkait melakukan upaya kajian mengenai
isu-isu strategis dan kebijakan politik untuk dibawa ke dalam
forum regional
Asia Tenggara. Rekomendasi terakhir yakni pemerintah berusaha meningkatkan kesadaran jati diri bangsa. Dalam hal ini Pemerintah dapat melakukan workshop dan pelatihan berjenjang yang lebih berfokus pada nilai-nilai kebangsaan bagi para diplomat, kepala instansi, kepala
daerah, pelajar dan seluruh bangsa Indonesia guna meningkatkan kecintaan
terhadap abngsanya. Penulis meyakini apabila
ketiga rekomendasi tersebut dapat dialksanakan dengan baik, maka tidak menutup
kemungkinan bahwa Indonesia dapat menjalin kerjasama bilateral maupun
multilateral dengan baik di Asia Tenggara dan meningkatkan kekuatan ASEAN.
Untuk melihat ASEAN penulis menggunakan teori balance of threat dari M. Walt yang berasumsi bahwa negara
akan bertindak berdasarkan potensi ancaman (threat). (Martin, J) Oleh sebab itu, negara-negara ASEAN akan beraliansi untuk
melawan kekuatan dari negara
lain yang berpotensi sebagai ancaman. Di Asia Tenggara sendiri, diplomasi
pertahanan sudah dilakukan baik secara bilateral maupun multilateral. Secara
umum, ada empat pola kerjasama keamanan di Asia Tenggara. Pola pertama
adalah kerjasama pertahanan multilateral antara external power dan
negara-negara di Asia Tenggara yang ditujukan untuk masalah keamanan tertentu.
Pola kedua adalah kerjasama pertahanan dan keamanan yang dipimpin Amerika
dengan perjanjian kerjasama dengan sekutu, partner strategis. Pola ketiga
adalah upaya kerjasama multilateral yang dipimpin oleh China untuk mengikat
ASEAN menjadi struktur kerjasama keamanan regional Asia Timur dengan fokus
utama pada isu-isu keamanan non-tradisional. Selanjutnya pola terakhir adalah
kerjasama multilateral dengan ASEAN sebagai pusatnya untuk meningkatkan
kerjasama keamanan baik diantara anggotanya maupun mitra dialog dan
diantara anggota ASEAN Regional Forum (ARF). (Martin, J)
Sampailah penulis pada benang merah tulisan ini yakni
dalam menjalin sebuah kerjasama dapat dilakukan melalui bilateral maupun
multilateral. Indonesia sebagai salah satu negara kunci dalam menjaga
stabilitas keamanan dan pertahanan di Asia Tenggara harus selalu melakukan
optimalisasi diplomasi pertahanan yang dilaksanakan agar senada sengan ancaman
dan tantangan yang dihadapi. Hal tersebut menunjukan bahwa Indonesia perlu memainkan
peranan yang lebih besar terkait strategi diplomasi pertahanan agar dapat
optimal. Untuk itu, sejumlah terobosan diperlukan oleh Indonesia guan meningkatkan
kestabilan di Asia Tenggara. Selain itu, ASEAN sebagai organisasi regional
perlu kiranya suatu pembenahan internal yang mengikat negara-negara terkait
agar lebih solid dalam melaksanakan berbagai bentuk kerjasama. Oleh sebab itu,
penulis memiliki saran bahwa seluruh instanti yang menajadi ujung tombak dari
diplomasi pertahanan sebaiknya segeran menyusun suatu program kerja baik jangka
panjang, menengah maupun pendek terkait diplomasi pertahanan. Kementrian luar
negeri dan kementrian pertahanan sebagai Leading
sector diharapkan mengirimkan perwakilan personelnya saat latihan digelar
oleh TNI. Hal tersebut guna mengevaluasi kekuarangan atau kecacatan saat
dilakukan latihan dan diharapkan memberikan feedbeck.
Referensi
Fikry
Cassidy, Direktorat Keamanan Internasional dan
Pelucutan Senjata, diakses pada 2 Maret 2018 melalui http://www.deplu.go.id/Pages/Orgz.aspx?IDP=5&IDP2=37&l=id
Jonathan R.
Martin. Balancing and Bandwagoning in the
South China Sea. Master Thesis.
Makarim, Pengaruh ASEAN terhadap APEC,
kuliah Lemhannas tanggal 1 Juni 2010
Laksamana, E. (2012). Regional Order by Other Means? Examining the Rise of Defense Diplomacy
in Southeast Asia. Asian Security. vol. 8, no. 3, 2012, pp. 251–270
Salim. (2015). Peningkatan Kerjasama Pertahanan Indonesia
Dikawasanasia Tenggara Guna Mendukung Diplomasi Pertahanandalam Rangka
Mewujudkan Stabilitas Kawasan. Pusat Pengkajian Mariti,
Seskoal.
Simatupang, G. Diplomasi Pertahanan ASEAN dalam Rangka
Stabilitas Kawasan. Forum Kajian Pertahanan Maritim. Diakses pada 2 Maret
2018 melalui http://www.fkpmar.org/diplomasi-pertahanan-asean-dalam-rangka-stabilitas-kawasan/
Komentar
Posting Komentar